NAPAK
TILAS AJARAN KI HAJAR
DEWANTARA
DALAM PENDIDIKAN SENI
DALAM PENDIDIKAN SENI
Oleh:
Diah Uswatun Nurhayati
Diah Uswatun Nurhayati
Napak tilas perjalanan
panjang Pendidikan Seni
(sekarang Pendidikan Seni Budaya) di Indonesia, dimulai dari kurikulum
pendidikan dasar pasca kemerdekaan tahun 1947. Sebenarnya, Pendidikan Seni
yang
pada waktu itu disebut dengan pelajaran: (1)
Seni Suara; dan (2) Menggambar,
sudah mampu berdiri minimal sejajar dengan pelajaran-pelajaran lain, seperti
Bahasa Indonesia,
Berhitung, Ilmu bumi, Budi Pekerti, Menulis, dan pelajaran lainnya. Sepeninggal Dewantara
tahun 1959, pada tahun 1964, Seni Suara berubah menjadi Pendidikan Kesenian
pada kelompok Perkembangan Emosional/artistik, ruang lingkupnya antara lain: Seni Suara/Musik, Seni
Lukis/Rupa, Seni Tari, Seni Sastra/Drama,
dengan alokasi waktu 2 jam perminggu untuk klas I & amp ; II, dan 4 jam perminggu untuk klas
dengan alokasi waktu 2 jam perminggu untuk klas I & amp ; II, dan 4 jam perminggu untuk klas
III-VI.
Pada tahun 1968, Pendidikan Kesenian menempati posisi sama dengan kurikulum
1964, hanya berbeda nama
kelompoknya yaitu
Pembinaan Pengetahuan Dasar. Kurikulum 1975
tidak
jauh
berbeda
dengan kurikulum 1964 dan kurikulum 1968. Mulai kurikulum 1984,
mata pelajaran seni berubah menjadi Pendidikan Seni
dengan memilih alternatif pengajaran A, B dan C.
Pada kurikulum 2004, pergantian menteri pendidikan mengakibatkan
Pendidikan
Seni
juga
berganti nama menjadi
Kertakes (Kerajinan Tangan dan Kesenian) berbasis kompetensi,
sesudah
kurikulum
2004 tersebut melakukan
sosialisasi, tahun 2006 muncul
KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), yaitu
kurikulum
berbasis budaya serta mengarah pada multidimensi,
multilingual dan multikultural.
Dari riwayat kurikulum Pendidikan Seni,
ide untuk memunculkan pendidikan seni yang dapat menyentuh aspek
cipta, rasa, karsa, mendidik dan membentuk karakter anak sudah dimulai Dewantara.
Pendidikan seni ini juga sudah mempunyai rumusan standar kompetensi. Misalnya dalam bidang musik, sesudah anak menguasai urutan atau susunan nada-nada dalam lagu daerah Jawa Padhang Bulan,
ataupun lagu daerah luar Jawa seperti O Inanikeke, Hela Rotane, dan Lisoi-lisoi, maka anak tersebut akan memiliki kompetensi apa? Hal-hal semacam inilah yang sudah dimiliki Dewantara.
Pendidikan seni ini juga sudah mempunyai rumusan standar kompetensi. Misalnya dalam bidang musik, sesudah anak menguasai urutan atau susunan nada-nada dalam lagu daerah Jawa Padhang Bulan,
ataupun lagu daerah luar Jawa seperti O Inanikeke, Hela Rotane, dan Lisoi-lisoi, maka anak tersebut akan memiliki kompetensi apa? Hal-hal semacam inilah yang sudah dimiliki Dewantara.
Berlatar hal di atas, napak tilas ajaran ini akan menyikapi proses pembelajaran yang dilakukan oleh Dewantara,
salah satunya adalah proses pembelajaran melalui ajarannya yang
disebut
3 N
(Trino/nonton, niteni,
nirokke untuk taman anak dan Tri-Ngo/ngerti, ngrasa, nglakoni untuk taman dewasa), dari 3 N ini diharapkan dapat nambahi dan nemokke sesuatu yang bermanfaat dan berguna.
Seperti diketahui,
sistem pendidikan di
Indonesia selalu mengukur dan
mengevalusasi hasil daripada
proses.
Pendidikan
Seni
Budaya yang
dilakukan guru ke siswa lebih banyak aspek
kognitif (nonton),
tetapi aspek afektif (niteni) dan psikomotor (nirokke), jarang bahkan
tidak pernah dilakukan. Hal-hal
semacam inilah yang menjadikan
pendidikan seni belum berhasil menyentuh pendidikan karakter,
membentuk sikap ataupun perilaku yang baik.
Dalam memberi pelajaran pendidikan seni
kepada anak, ada tiga macam pembelajaran yang dilakukan Dewantara, yaitu melalui ajaran 3 N (nonton, niteni, nirokke)
dengan urutan sebagai berikut:
1. Nirokke (psychomotor
learning), yaitu pembelajaran
yang
melibatkan aktifitas fisik seperti menari,
menggambar, bernyanyi, meronce dan merangkai. Nirokke atau psychomotor learning ini
diaplikasikan sejak tahap pembelajaran dimulai atau
paling awal.
Nirokke dalam pelajaran seni menuntut seorang guru
untuk
menguasai materi ajar, karena tidak mungkin seorang guru hanya
berdiam diri
mengafal
notasi, gerakan ataupun goresan tanpa mau melakukan
aktivitasnya.
Jika tidak melakukan
kegiatan nirokke dalam pelajaran seni tersebut, dapat dipastikan pelajaran tersebut tidak akan mampu membentuk perilaku,
sikap maupun
karakter anak. Aktivitas nirokke sebaiknya dilakukan secara reguler dan
dalam jangka waktu
yang pendek, jadi tidak dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, apalagi hanya kadang-kadang.
2. Niteni (Affective Learning),
yang melibatkan
perasaan anak kepada seni apapun bentuknya.
Dalam kegiatan Niteni ini anak akan dapat mendengarkan musik, menggerakkan tangan dan merasakan goresan dalam kertas untuk mengekspresikan perasaannya saat menciptakan karya seni. Setiap ada kegiatan pembelajaran seni, anak haruslah aktif berkesenian. Anak diusahakan dapat merespon gerakan, nyanyian, atau goresan, melalui cara ini anak akan lebih mudah meyerap semua materi ajar yang diberikan.
Kegiatan Niteni dalam proses pembelajaran seni banyak berhubungan dengan perasaan anak kepada seni. Oleh sebab itu, media, cara maupun materi ajar diusahakan selalu menarik, misalnya dengan memilih bahan dari berbagai budaya yang anak-anak sudah mengenal.
Dalam kegiatan Niteni ini anak akan dapat mendengarkan musik, menggerakkan tangan dan merasakan goresan dalam kertas untuk mengekspresikan perasaannya saat menciptakan karya seni. Setiap ada kegiatan pembelajaran seni, anak haruslah aktif berkesenian. Anak diusahakan dapat merespon gerakan, nyanyian, atau goresan, melalui cara ini anak akan lebih mudah meyerap semua materi ajar yang diberikan.
Kegiatan Niteni dalam proses pembelajaran seni banyak berhubungan dengan perasaan anak kepada seni. Oleh sebab itu, media, cara maupun materi ajar diusahakan selalu menarik, misalnya dengan memilih bahan dari berbagai budaya yang anak-anak sudah mengenal.
3. Nonton (Cognitive Learning), yaitu
pembelajaran ilmu pengetahuan, seperti warna, kostum, notasi, elemen dalam musik, nama-nama pelukis, komponis terkenal, pengetahuan bahan kertas, kanvas dan
sebagainya. Hal yang perlu diingat dalam kegiatan Nonton ini adalah untuk menginformasikan tentang
seni yang berhubungan dan terkait
dengan praktiknya.
Napak tilas ajaran
3N Dewantara ini diberikan kepada
anak-anak,
dengan
maksud agar semua anak-anak di
seluruh Indonesia dapat merasakan
pengalaman estetis
dalam
pelajaran
Pendidikan Seni,
karena kegiatan yang direkomendasikan dalam
pelajaran ini adalah
apresiasi, ekspresi/kreasi dalam seni. Artinya, apresiasi seni yang diekspresikan melalui pengalaman estetik secara kreatif. Oleh sebab
itu, sangat penting untuk mengelola pembelajaran tingkat
praksis, agar pengalaman estetis dapat dirasakan oleh semua
anak,
sehingga pembentukan karakter melalui Pendidikan Seni dapat lebih mudah
terwujud.
(Diah Uswatun Nurhayati)
Referensi:
Dewantara, Ki Hajar.
(2004),
Pendidikan,
Majlis
Luhur
Persatuan
Tamansiswa, Yogyakarta.
Kamien, Roger.
(2002),
Music,
an Appreciation, McGraw-Hill
Companies, New
York.
Nayono,
Ki,
(1992), ”Pendidikan Kesenian”, dalam 70 Tahun Tamansiswa
1922-1992, Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta.
Widyaiswara Seni
Musik
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar